Jalan cerita dibuka dengan sorot lampu yang semakin terang di tengah panggung menyinari sesosok tubuh yang tak indah lagi bentuknya, sesosok wanita dengan perut buncitnya menggunakan jubah panjang yang menutupi hampir sebagian panggung. Sesosok wanita yang sedang meronta sekuat tenaga, keringat dingin keluar dari sekujur tubuh, nafas keluar tak beraturan beradu cepat dengan erangan kesakitan.
Lakon I
Wanita I meronta kesakitan melalui erangan dan nafas yang tak beraturan, tubuh menegang seakan ingin mengeluarkan beban berat yang lama tersimpan, sebuah adegan perjuangan besar untuk meneruskan rantai kehidupan (adegan persalinan). Ketegangan semakin memuncak menjelang janin keluar hingga berakhir dengan jeritan kesakitan yang sangat keras.
Wanita I : (Menjerit sekuat tenaga dengan menahan nafas) a….a….a…a….a….a…ah.....
Seketika itu keluar janin-janin dari liang kesucian sang wanita dengan tali pusar yang masih melekat di pusarnya.
Lakon II
Tiga sosok janin menggelinding keluar dari sela-sela kain jubah yang dikenakan wanita menuju ke depan panggung. Janin-janin mulai menggerakkan anggota tubuhnya perlahan merasakan kehadirannya pertama kali di dunia dengan tangis keras dari mulutnya. Sementara wanita I yang masih merasakan sakit setelah mengeluarkan janin-janinnya. Mulai mengumpulkan tenaga dengan mengatur nafasnya. Perlahan bangkit dari tempatnya dengan langkah tertatih menghampiri dan menarik tali pusar dari dirinya, perlahan berjalan menuju janin mengikuti arah tali pusar janin.
Wanita I : (Mengumpulkan tali pusar di tangan) Pertaruhan nyawa dan jiwa ini tiada percuma, melalui diri ini rantai kehidupan kembali tersambung. Kini, lengkaplah sudah kodratku sebagai seorang wanita, martabat diri tetap terjaga. (Menaruh tali pusar di dekat janin I, berganti mengambil tali pusar janin yang lain) tidakkah kalian melihat berapa banyak hawa yang mesti menanggung nista karena tiada mampu menyambung rantai kehidupan ini. (Menaruh tali pusar di dekat janin II, kembali mengambil tali pusar janin yang lain) Wanita memang tercipta sebagai penjaga keberlangsungan rantai kehidupan karena kodrat itulah martabat wanita ditentukan.
Wanita kembali menaruh tali pusar, kemudian berjalan keluar meninggalkan panggung sementara janin-janin tetap berusaha bergerak menyadari keberadaan anggota tubuhnya, tak lama bersilang wanita I kembali dengan nampan di atas tangan kanannya. Nampan yang berisikan sebuah pelita kecil, gunting, kapas, benang jahit dan jarum. Sementara tangan kirinya menenteng seember air.
Lakon III
Wanita mendekati janin I mengambil ember berisi air mencelupkan tangannyakemudian mengusap janin membersihkan dari darah yang masih menempel di tubuh janin.
Wanita I : (Mengusap kepala janin I ) Wahai buah hatiku jika kedua matamu telah terbuka nanti ingatlah bahwa dunia ini adalah perjuangan dan pertaruhan. Jadikan otakmu sebagai pemilah, karena jika langkah terhenti otak lelah, ayunan tangan tlah terhenti oleh peluh. Otak tak bergerak karena tumpukan asam. Otak akan terus bergerak menyibak cakrawala ungkap misteri dunia. Kau adalah pemimpin taklukkan dunia dengan logikamu.
Wanita I mengambil sebuah gunting dari nampan memotong tali pusar janin dan meletakkannya di atas nampan kemudian bergerak ke arah janin II, mengambil ember dan membersihkan tubuh mungil di depannya.
Wanita I : (Mengusap dada janin II) Anakku ! Kau adalah penengah, pada dirimulah keadilan berpijak. Ingatlah ! dunia adalah belantara yang penuh tumpukan kebohongan, tipu daya, kepalsuan, kenistaan, intrik dan kebobrokan. sibak gelapnya dunia dengan lentera hati.
Kembali wanita I memotong tali pusar janin II dan meletakkannya dalam nampan. Kembali langkah kaki diayunkan menuju ke janin III, ritual pembersihan kembali dilakukan.
Wanita I : (Mengusap paha janin III) Anakku ! Kau wanita dirimulah penerus rantai kehidupan. Ketahuilah ! Perjuangan berat menantimu, dunia adalah meraba bagi wanita, namun kaulah penentu dunia. Tegaknya dunia karena hawa hancurnyapun oleh hawa. Jaga 2 buah mulutmu niscaya kau akan berjalan tegak di muka bumi ini.
Wanita I menggunting tali pusar janin II dengan penuh rasa meletakkannya bersama tali pusar janin yang lain. Wanita berjalan menuju sudut depan panggung dengan nampan dan segala isinya, menuju gunduk tanah membongkarnya dengan tangannya kemudian menguburkan tali pusar beserta jarum dan benang yang telah dibawanya serta meletakkan pelita kecil di atas tanah yang telah diratakan.
Wanita I : Tumbuhlah anakku sinari dunia dengan perilakumu tiba saatnya kalian mewarnai dunia.
Wanita I berjalan perlahan meninggalkan panggung, sementara itu janin-janin mulai bergerak lebih bebas merasakan anggota tubuhnya.
Lakon IV
Janin-janin bergerak seolah terbangun dari tidur panjangnya. Dengan mata yang masih tertutup janin bergerak mengikuti suara-suara yang menggetarkan daun telinganya, janin-janin mengeksplorasi tubuh mengenali tulang-tulang mereka.
Lakon V
Janin mulai membuka mata mereka, menegakkan beberapa tulang tubuhnya hingga pada posisi merangkak, mereka merangkak kesana-kemari tak beraturan, sesekali bermain-main dan bergerak sejajar.
Wanita I masuk menyeret sebuah keranjang berisi beberapa buah kelapa yang terbelah dgn batok dan dagingnya yang masih menyatu
Lakon VI
Wanita I melepaskan daging kelapa dari batoknya dengan cara menggaruk-garukkan daging kelapa ke sebuah belati tajam, mengumpulkan daging di sebuah wadah.
Capek bermain janin-janin bergulingan di tanah dengan tangis keras.
Wanita I cepat-cepat menghampiri dan memasukkan beberapa potong daging kelapa ke mulut janin.
Janin-janin pun terlelap dalam tidur bersamaan dengan nyanyian merdu wanita I.
Lampu panggug Padam. Tak berapa lama lampu panggung kembali menyala menerangi seluruh bagian panggung yang kosong. Dari dalam panggung terdengar derap langkah kaki janin-janin yang telah tumbuh menjadi sosok manusia dewasa (laki-laki I, laki-laki II, wanita II), jejak langkah yang ingin menunjukkan eksistensi mereka di dunia.
Lakon VII
Laki-laki I, Laki-laki II dan Wanita II melakukan derap langkah kaki yang cepat dan beriringan yang memenuhi ruangan hingga berakhir dengan keletihan, kelelahan dan nafas yang tersengal. Tablo!.
Lakon VIII
Laki-laki I menggerakkan mulutnya dengan sura tak beraturan.
Laki-laki I : A…we…yu…we…yu…we…yu…
Laki-laki II dan wanita II mengikuti ocehan laki-laki I. meraka kemudian bergerak bersama sambil mulut tetap mengeluarkan ocehan hingga tak dapat lagi digerakkan dan berhenti dengan mulut menganga.
Lakon IX
Laki-laki I kembali bergerak, kali ini dengan menepuk-nepukkan tangannya ke seluruh anggota badannya hingga mengeluarkan suara-suara yang tek beraturan. Laki-laki II dan wanita II kembali menirukan laki-laki I hingga tercipta gerakan dan suara-suara yang selaras diantara mereka hingga kembali berhenti.
Lakon X
Dengan hati jengkel laki-laki I mengulangi perbuatannya mulai dari menderapkan langkah kaki, mengoceh hingga menepukkan tangannya dilakukan secara bergantian, kembali kegitan itu ditirukan oleh laki-laki II dan wanita II hingga terhenti oleh sebuah kebosanan. Kebosanan yang membuat laki-laki I hanya melakukan derap langkah kaki, laki-laki II mengocehkan mulutnya dan wanita II menepuk-nepuk anggota tubuhnya. Mereka saling melihat kemudian seketika memalingkan muka. Dengan tetap beraktifitas mereka meninggalkan panggung mengikuti masing-masing lampu yang menyorot kepada mereka masing-masing.
Lampu panggung hilang bersama hilangnya ketiga sosok manusia itu. Panggung kembali terbuka dengan sorot lampu pada satu tempat memanjang dari depan ke belakang.
Lakon XI
Laki-laki I muncul bergaya laksana pemimpin dengan langkah tegap mengikuti arah lampu
Laki-laki I : Inilah Jalanku !
Kemudian menghilang bersama bayangannya di ujung cahaya
Lakon XII
Laki-laki II muncul menggunakan jubah hitam panjang dengan kalung besar melingkar di lehernya serta menenteng wadah berisi arang yang menyala tergantung mengayun di tangannya berjalan mengikuti arah lampu.
Laki-laki II : Inilah Jalanku !
Menghilang di ujung cahaya
Lakon XIII
Wanita II datang dengan berpakaian seksi, dandanan menawan membawa tas dan bedak yang tak pernah lepas dari depan mukanya, berjalan mengikuti arah cahaya
Wanita II : Inilah upayaku agar bisa mengikuti jalan mereka!
Kembali menghilang di ujung cahaya
Lampu panggung kembali tak bernyawa beberapa saat hingga hidup kembali dan menerangi seluruh bagian panggung. Wanita I masuk ke panggung mengenakan baju putih bersih panjang hingga menutupi beberapa blok lantai panggung.
Lakon XIV
Wanita I berjalan gemulai dengan langkah yang mantap, seakan-akan kebanggaan dirinya tercermin dalam langkah dan perawakannya, hingga langkahnya terhenti oleh sakit yang dirasakan di perutnya yang semakin lama semakin menjadi. Bersamaan dengan sakitnya itu keluar darah dari pangkal pahanya yang semakin lama semakin deras dan banyak hingga memerahkan baju putihnya. Dengan menahan rasa sakit wanita I berusaha membendung aliran darah itu hingga tak terasa seluruh tubuhnya telah menjadi merah karenanya.
Di saaat kepanikan melanda wanita I, wanita II muncul dengan tubuh dan pakaian seksinya.
Lakon XV
Wanita II berusaha ingin menolong wanita I tapi ia tidak tahu bagaimana caranya karena ia sendiripun takut darah wanita I mengotori dirinya, wanita II membuka tasnya mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan untuk menolong wanita I. Wanita II mengeluarkan sebuah pembalut wanita, berjalan mendekati wanita I dan akan mengusapkan pembalut ke tubuh wanita I.
Belum sampai wanita II melaksanakan niatnya, laki-laki I masuk seketika itu wanita II kebingungan.
Lakon XVI
Wanita II cepat-cepat menyembunyikan pembalut yang dibawanya dan bergerak menjauhi wanita I.
laki-laki I berjalan memutar mengamati wanita I.
wanita I berusaha minta tolong
Laki-laki I : (memelototkan mata ke arah wanita I) manusia pembawa bencana ! kekotoran, penyakit dan kesialan bersatu dalam darah yang kau keluarkan itu. Jangan kau kotori dunia ini dengan kehinaanmu itu. Pergilah dari tempat ini!
Wanita II : (melemparkan pembalut ke muka wanita I) cepat…! Bersihkan dirimu! Hilangkan segala nista yang kau bawa ! kau merendahkan martabat kaummu tak semestinya kau di tempat ini.
Wanita I : (berusaha membersihkan dirinya dengan pembalut) serendah itukah diri ini ? hanya karena datangnya nikmat sekaligus petaka ini (menunjukkan tangannya yang memerah penuh darah) yang tiada kuasaku menolaknya. Wahai pencipta semesta mengapa kehinaan ini kau berikan kepada hambamu ini.
Laki-laki II masuk dengan jubah kebesarannya dengan wadah berisi arang menganga yang tergantung di tangannya.
Laki-laki II : wahai pendosa ! beraninya kau berkata seperti itu ! tak layak kau mendekat kepada-Nya dengan kehinaanmu itu. Dia sang maha suci hanya akan menerima mereka yang suci. Pergi dari sini laknat !
Laki-laki I, laki-laki II dan wanita II bergerak mengelilingi wanita I dengan tatapan mata yang tajam, sementara wanita I ketakutan merasa tidak sepantasnya ia diperlakukan seperti itu
Laki-laki I : Kotor !
Laki-laki II Najis !
Wanita II : Hina !
Laki-laki I : Penyakit !
Laki-laki II : Pendosa !
Wanita II : Sampah !
Putaran dan ucapan itu terjadi dan berulang semakin cepat hingga ketiga sosok itu merapat ke wanita I. Laki-laki I dan Laki-laki II memegangi kedua lengan wanita I sementara wanita II memegang dan menarik rambut wanita I. mereka kemudian menyeret wanita I.
Wanita I : (Meronta sekuat tenaga) Mengapa …mengapa…mengapa kalian melakukan ini kepadaku ? tidakkah kalian ingat dari darah inilah kalian tercipta.
Ketiga sosok berhenti sejenak, memandang kea rah wanita I kemudian kembali menyeret wanita I membawanya ke arah panggung yang lain. Sebuah sel yang dipenuhi dengan gantungan pembalut wanita di dalamnya serta sebuah tong besar berisi air terletak di salah satu sudutnya.
Lakon XVII
Ketiga sosok menyeret dan memasukkan wanita I ke dalam sel sementara wanita I berontak tapi tak kuasa
Laki-laki I : disinilah tempatmu terasing dari kaummu
Laki-laki II : Tiada lagi yang kan mengotori pengabdian dengan najismu
Wanita II : martabat kaummu kan kembali dengan ketiadaanmu
Ketiga sosok meninggalkan wanita I dalam sel sebagai sosok yang terasing, sendiri dalam kesepian.
Lakon XVIII
Wanita I tak henti-hentinya meratapi nasibnya, menangis, berontak, mengambil pembalut yang tergantung untuk membersihkan dirinya, berusaha menghilangkan noda darah yang mengasingkannya.
Wanita I : (menggosok dengan keras kulitnya dengan pembalut) Inikah dunia ! begitu tinggikah derajad lelaki hingga sel spermanya yang tak lebih mahal dari telur ayam bisa menentukan harga diri wanita. (berjalan di sel mencelupkan kepalanya di air dalam tong) Dulu ! ketika darah ini bertemu dengan sel-sel lelaki yang menjadikannya makhluk yang lain, wanita dipuja sebagai penerus rantai kehidupan. (mengambil dan meremas pembalut) Kini ! saat darah ini tiada tersentuh oleh sel-sel mereka hinalah diri ini. Hanya karena sel lelaki wanita bisa dipuja bahkan terinjak dan terhina.
Lampu padam secara perlahan bersama isak tangis yang tertahan. Tak lama kemudian lampu kembali membuka mata menyinari sosok wanita I di sudut sel.
Wanita I : (menggigil di sudut sel) Beginilah aku sekarang, tersudut dan terasing. Ya… terasing dari mereka kaumku yang terus menerus menghina kodratku ini. Bahkan kini aku terasing dari penciptaku, karena menurut mereka mulut mereka yang terus menyebut sang pencipta, diri ini najis, kotor dan tak pantas memuja-Nya yang maha suci. Detik demi detik waktu ini terasa terlalu lama menuju kesucian.
Lampu kembali padam, namun beberapa saat kemaudian kembali menerangi tong di sudut panggung.
Lakon XIX
Wanita I keluar dari dalam air di tong membersihkan rambut dan seluruh bagian tubuhnya dengan riangnya seakan ia telah terbebas dari beban yang selama ini menderanya.
Wanita I : (keluar tong berjalan menuju pintu sel) Kesucian telah datang, kehidupan kan kembali dengan keceriaan.
Dengan langkah mantap wanita melangkah keluar sel, namun tak berapa langkahnya kembali terhenti tepat di depannya sebuah sepatu laki-laki terletak di atas box, tanpa disadari tangan, kaki dan kepalanya terikat oleh benang halus tak kasat mata yang terhubung dengan sel dimana ujungnya tergantung peralatan masak, cucian kotor, perlengkapan tidur serta barang-barang laki-laki.
Lakon XX
Wanita I melangkah dengan mantap hingga terhenti oleh benang-benang yang melingkar. Wanita I berusaha dengan keras melangkah, namun tiada kuasa, hingga ia terjatuh sujud di depan sepatu laki-laki di depannya.
Lampu panggung mengerucut ke posisi sujud wanita I dan sepatu laki-laki yang terdapat di depannya.
Wanita I : ternyata kesucian dari darah menstruasi tak melepaskan hawa dari penguasaan laki-laki. (mendongakkan kepala ke atas) Apakah ini kodrat yang tak kan kita ubah selamanya …a…a…a…a…a??????????
Lampu padam menandakan berakhirnya pula sebuah cerita kehidupan.
Jombang, 6 April 2010
Jalak’e Sua
Free Template Blogger
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO